By Unknown | At Friday, February 22, 2013 | Label :
MAKALAH HUKUM DAN HAM
| 0 Comments
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak
pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus di
samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana
khusus, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau
dari materi yang diatur maka tindak pidana korupsi secara langsung
maupun tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya
kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.
Dengan diantisipasi sedini dan seminimal mungkin penyimpangan tersebut,
diharapkan roda perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya sehingga lambat laun akan membawa daampak adanya
peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.[1]
Di
berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih
dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena ini dapat dimaklumi
mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini.
Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan.
Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan
stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial
ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan
moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi budaya.
Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan
makmur.
Selama
ini korupsi lebih banyak dimaklumi oleh berbagai pihak daripada
memberantasnya, padahal tindak pidana korupsi adalah salah satu jenis
kejahatan yang dapat menyentuh berbagai kepentingan yang menyangkut hak
asasi, ideologi negara, perekonomian, keuangan negara, moral bangsa, dan
sebagainya, yang merupakan perilaku jahat yang cenderung sulit untuk
ditanggulangi. Sulitnya penanggulangan tindak pidana korupsi terlihat
dari banyak diputusbebasnya terdakwa kasus tindak pidana korupsi atau
minimnya pidana yang ditanggung oleh terdakwa yang tidak sebanding
dengan apa yang dilakukannya. Hal ini sangat merugikan negara dan
menghambat pembangunan bangsa. Jika ini terjadi secara terus-menerus
dalam waktu yang lama, dapat meniadakan rasa keadilan dan rasa
kepercayaan atas hukum dan peraturan perundang-undangan oleh warga
negara. Perasaaan tersebut memang telah terlihat semakin lama semakin
menipis dan dapat dibuktikan dari banyaknya masyarakat yang ingin
melakukan aksi main hakim sendiri kepada pelaku tindak pidana di dalam
kehidupan masyarakat dengan mengatasnamakan keadilan yang tidak dapat
dicapai dari hukum, peraturan perundang-undangan, dan juga para penegak
hukum di Indonesia.[2]
Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi social (penyakit social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota legislatif dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lain sebagainya di luar batas kewajaran. Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung. Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi, atau paling tidak mengurangi sampai pada titik nadi yang paling rendah maka jangan harap negara ini akan mampu mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa negara ke jurang kehancuran.
B. Rumusan Masalah
1. Apa dampak yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi?
2. Bagaimana upaya memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
Korupsi berasal dari kata Latin “Corruptio” atau “Corruptus” yang kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis “Corruption”, dalam bahasa Belanda “Korruptie” dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan “Korupsi” (Dr. Andi Hamzah, S.H., 1985: 143). Korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1977: 149), sedangkan A.I.N Kramer ST. menerjemahkannya sebagai busuk, rusak, atau dapat disuapi (A.I.N. Kramer ST. 1997: 62). Oleh karena itu, tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak atau suap.[3]
Korupsi
dikenal pembuktian terbalik terbatas yaitu orang yang diteriksa harta
bendanya oleh pengadilan tinggi wajib memberikan keterangan secukupnya
yaitu mengenai harta benda sendiri dan harta benda orang lain yang
dipandang erat hubungannnya menurut ketentuan pengadilan tinggi.[4]
Jika
membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam
itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang
busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan
kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik,
serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kediaansan di bawah
kekuasaan jabatannya. Dengan demikian, secara harfiah dapat ditarik
kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat
luas.
1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain.
2. Korupsi:
busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan
kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan
pribadi).
Korupsi
menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia
politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik
(good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di
pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan
perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan
menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik
menghasilkan ketidakseimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum,
korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian
prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan
jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi
mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti
kepercayaan dan toleransi.
2. Bidang Ekonomi
Korupsi
juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan
pemerintahan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan
membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat,
korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran
ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan
risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang
menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah
birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan
sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan- aturan baru dan
hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi
juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi
dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan
perusahaan-perusahaan yang tidak efisien. Korupsi menimbulkan distorsi
(kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik
ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih
banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk
menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak
kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan
bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga
mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
3. Bidang Kesejahteraan Negara
Korupsi
politis ada dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga
negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering
menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi
adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan
besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil. Politikus-politikus
"pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar
yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
C. Cara atau Upaya Memberantas Tindak Pidana Korupsi
1. Strategi Preventif
Strategi
ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal yang
menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi
harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab
korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan
peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak pihak
dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya
korupsi.
2. Strategi Deduktif
Strategi
ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar
apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan
tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan
seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan
dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-
sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat
memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini
sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum,
ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
3. Strategi Represif
Strategi
ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk
memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada
pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran ini
proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat
disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut
dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harus
dilakukan secara terintregasi.
Bagi
pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi
yang hendak dilaksanakan. Bahkan dari masyarakat dan para pemerhati /
pengamat masalah korupsi banyak memberikan sumbangan pemikiran dan opini
strategi pemberantasan korupsi secara preventif maupun
secara represif antara lain :
1. Konsep
“carrot and stick” yaitu konsep pemberantasan korupsi yang sederhana
yang keberhasilannya sudah dibuktikan di Negara RRC dan Singapura.
Carrot adalah pendapatan netto pegawai negeri, TNI dan Polri yang cukup
untuk hidup dengan standar sesuai pendidikan, pengetahuan, kepemimpinan,
pangkat dan martabatnya, sehingga dapat hidup layak bahkan cukup untuk
hidup dengan “gaya” dan “gagah”. Sedangkan Stick adalah bila semua sudah
dicukupi dan masih ada yang berani korupsi, maka hukumannya tidak
tanggung-tanggung, karena tidak ada alasan sedikitpun untuk melakukan
korupsi, bilamana perlu dijatuhi hukuman mati.
2. Gerakan
“Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia saat
ini perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan
mengefektifkan gerakan rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan
Muhammadiyah ataupun ormas yang lain perlu bekerjasama dalam upaya
memberantas korupsi, serta kemungkinan dibentuknya koalisi dari partai
politik untuk melawan korupsi. Selama ini pemberantasan korupsi hanya
dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari dukungan saja tanpa ada
realisasinya dari partai politik yang bersangkutan. Gerakan rakyat ini
diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan
moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
3. Gerakan
“Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (KPK, Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan
bertanggungjawab serta memiliki komitmen yang tinggi dan berani
melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang status sosial untuk
menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan dengan membenahi
sistem organisasi yang ada dengan menekankan prosedur structure follows strategy
yaitu dengan menggambar struktur organisasi yang sudah ada terlebih
dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya masing-masing
dalam struktur organisasi tersebut.
4.
Gerakan “Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa
korupsi adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat
dan martabat manusia. Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi
lingkungan sosial masyarakat yang sangat menolak, menentang, dan
menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima, mendukung, dan menghargai
perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat dilakukan melalui
lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan masyarakat
terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif membangun peradaban
bangsa yang bersih dari moral korup.
5.
Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah
pegawai dalam pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan
jalan menempatkan orang yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya.
Dan apabila masih ada pegawai yang melakukan korupsi, dilakukan tindakan
tegas dan keras kepada mereka yang telah terbukti bersalah dan bilamana
perlu dihukum mati karena korupsi adalah kejahatan terbesar bagi
kemanusiaan dan siapa saja yang melakukan korupsi berarti melanggar
harkat dan martabat kehidupan.
Pemerintah
setiap negara pada umumnya pasti telah melakukan langkah-langkah untuk
memberantas korupsi dengan membuat undang-undang. Indonesia juga membuat
undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan mengalami perubahan yaitu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perbuatan
korupsi tidak mungkin hapus dari muka bumi ini hanya denagn
mengeluarkan sebuah peraturan, bahkan dengan mengeluarkan sebuah
peraturan, bahkan dengan ancaman pidana yang cukup berat, yaitu pidana
mati pun. Usaha pembentuk undang-undang melalui pembuatan paraturan
tersebut terbatas, apabila tida dibarengi dengan pemberantasan korupsi
ini dengan tindakan-tindakan lain, seperti bidang politik, ekonomi,
pendidikan, dan lainnya. Gejala yang dialami oleh Indonesia tersebut
juga muncul di negara-negara berkembang yang lain di dunia.[5]
Dampak
yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi di segala bidang membuat
Indonesia semakin terpuruk karena banyak sekali terjadi kasus korupsi di
Indonesia yang merugikan baik pemerintah maupun masyarakat. Tindak
pidana korupsi ini yang membuat Indonesia semakin miskin.
Cara atau upaya memberantas tindak pidana korupsi yang paling utama adalah gerakan
“moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi
adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan
martabat manusia. Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi
lingkungan sosial masyarakat yang sangat menolak, menentang, dan
menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima, mendukung, dan menghargai
perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat dilakukan melalui
lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan masyarakat
terutama generasi muda sebagai langkah yang efektif membangun peradaban
bangsa yang bersih dari moral korup.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hamzah, Jur Andi. Pemberantasan Korupsi. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. 2005.
2. Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta. Sinar Grafika. 2005.
3. Koeswadji, Hermien Hadiati. Korupsi di Indonesia dari Delik Jabatan ke Tndak Pidana Korupsi. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 1994.
4. Mulyadi, Lilik. Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan
Khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya
Hukumnya Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999). Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2000.
5. Prinst, Darwan. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. 2002.
[1] Lilik Mulyadi, S.H., Tindak
Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan,
Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999), Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hlm 1, 2.
[2] Evi Hartanti, S.H., Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hlm 1, 2.
[3] Darwan Prinst,S.H., Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hlm 1.
[4] Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hlm 55.
[5] Prof. Hermien Hadianti Koeswadji, S.H., Korupsi di Indonesia Dari Delik Jabatan Ke Tindak Pidana Korupsi, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1994, hlm 35.