ABSTRAK
Korupsi
yaitu perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas
untuk keuntungan pribadi atau golongan. Korupsi dapat terjadi karena
berbagai faktor misalnya pendapatan yang rendah, adanya kesempatan, dan
ada juga faktor dari luar yaitu bujukan oranglain, atau kurangnya
control diri. Korupsi sangat merugikan rakyat maupun Negara. Sebagian
besar para koruptor adalah para pejabat pemerintah yang diberi
kepercayaan dan wewenang tetapi banyak yang menyelewengkan.
Orang
yang kedapatan melakukan tindakan korupsi akan dijatuhi hukuman sesuai
dengan undang-undang yang telah ditetapkan pemerintah. Pemerintah
Indonesia pun juga telah membentuk suatu badan penyelidikan masalah
korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi atau sering disebut KPK. KPK
memiliki tugas dan wewenang untuk mengusut tuntas masalah korupsi dari
pusat hingga daerah.
Dampak
korupsi yaitu dapat mengubah segala tatanan kehidupan masyarakat,
seperti ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Upaya penanggulangan
korupsi harus dimulai dari diri sendiri agar taat terhadap aturan yang
dibuat pemerintah.
KATA KUNCI: korupsi, dampak, undang-undang, hukum.
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan
peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju modernisasi.
Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan
tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga
senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam
bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam
bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya.
Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama
yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia
bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.
Salah
satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini.
Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi
baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di
Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum
merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam
masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi
memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa
setempat.
Kemudian
setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini
meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh
kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat
menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah
ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang
sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi,
alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin
penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan
masalah korupsi.
Di
Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut.
Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke
permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit
kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke
lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan
yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru,
korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga
pejabat tinggi.Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang
khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada.
B. PERUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan korupsi.
2. Bagaimanakah tindak pidana dalam kasus korupsi di Indonesia.
3. Bagaimanakah kinerja KPK tehadap kasus korupsi sekarang ini.
4. Bagaimanakah dampak korupsi terhadap Negara Indonesia dan bagaimana cara menanggulangi terjadinya korupsi.
II. PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KORUPSI
Menurut
perspektif hukum, pengertian korupsi secara gamblang dijelaskan dalam
13 buah pasal dalam UU No.31 tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU
No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk
tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menjelaskan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana korupsi.
Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakar yang memakai
uang sebagai standar kebenaran dan sebagai suatu kekuasaan mutlak.
Sebagai akibat korupsi ketimpangan antara si miskin dan sikaya semakin
kentara. Orang-orang kaya dan memiliki politisi korup bisa masuk dalam
golongan elite yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka juga memilik
status sosial yang tinggi.
Korupsi
menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku yang
menggunakan jabatan dan wewenang guna mengeduk keuntungan pribadi,
merugikan kepentingan umum Dijabarkan pula oleh Dr. Sarlito W. Sarwono,
faktor seorang melakukan tindak korupsi adalah factor dorongan dalam
diri (keinginan, hasrat, kehendak) dan faktor rangsangan dari luar
(kesempatan, dorongan teman-teman, kurang kontrol, dan lain-lain).
Secara
bahasa, korupsi berasal dari bahasa inggris, yaitu corrupt, yang
berasal daari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang
berarti bersama-sama dan rupere yang berarti pecah atau jebol. Istilah
korupsi juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau
penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam
prakteknya korupsi lebih dikenal menerima uang yang ada hubungannya
dengan jabatan tanpa adanya catatan administrasi. Pengertian korupsi
lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau
masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau golongan.
Sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
Ø Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban dan sebagainya.
Ø Warisan pemerintahan kolonial.
Ø sikap
mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal,
tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang
pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.
Berdasarkan
ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap
terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.
1) Pidana Mati
Dapat
dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31
tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
Pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
Pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi
setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
Pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus
juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa
ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
Pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal
29, pasal 35, dan pasal 36.
Perampasan
barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang
tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan
barang-barang tersebut.
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh
pemerintah kepada terpidana.
Jika
terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1
(satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang
untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Dalam
hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar
uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak
memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan
undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut
sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi.
Pidana
pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan
maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui
procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
a. Dalam
hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan/atau pengurusnya.
b. Tindak
pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik
sendiri maupun bersama-sama.
c. Dalam
hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka
korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut
dapat diwakilkan kepada orang lain.
d. Hakim
dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa
ke siding pengadilan.
e. Dalam
hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk
menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada
pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.
Unsur-unsur
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 20
tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah
a. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
b. Perbuatan melawan hukum;
c. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;
d. Menyalahgunakan
kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan
kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
C. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
1. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
2. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
4. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
5. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
1. mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi;
2. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
3. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
4. melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
5. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.
Alasan
utama yang paling sering disinggung dengan munculny KPK adalah karena
mereka tidak lagi dapat memercayai kepolisian dan kejaksaan untuk
menangani kasus-kasus korupsi. Harapan satu-satunya untuk dapat melihat
keadilan ditegakkan bagi masyarakat kebanyakan hanya ada di tangan KPK.
Berdirinya KPK dalam waktu cepat telah menumbuhkan kepercayaan publik
atas pemberantasan korupsi.
Sepak
terjang KPK dalam menangani perkara-perkara korupsi yang melibatkan
pejabat publik dianggap masyarakat mampu menghadirkan proses hukum yang
sesungguhnya. Bukan penegakan hukum pura-pura, dagelan, apalagi proses
hukum korupsi yang diselimuti oleh praktik korupsi. Kritik terhadap KPK
memang tetap ada,namun hal itu lebih sebagai upaya publik mengawasi KPK
supaya proses penegakan hukum tidak tebang pilih, diskriminatif, dan
manipulatif.
Pengambilalihan
kasus oleh KPK dari aparat kejaksaan dan kepolisian belum cukup
dijadikan pelajaran yang berguna.Bahkan usaha (jika memang ada dan
sungguh-sungguh) untuk memperbaiki citra kejaksaan, misalnya, justru
tercoreng oleh ulah beberapa jaksa nakal yang tertangkap basah melakukan
ancaman dan pemerasan. Terakhir,Kepala Kejaksaan Negeri Tilamuta yang
dicopot oleh Kejaksaan Agung karena beredar rekaman pembicaraannya yang
mengancam, memeras, sekaligus menghina satuan penegak hukum lainnya.
Dalam
situasi aparat penegak hukum konvensional mengalami kemandekan dalam
penanganan kasus korupsi, di sisi lain situasi politik menciptakan
korupsi yang kian massif, tentu berharap agar kepolisian atau kejaksaan
segera pulih adalah mimpi.
Sebagaimana
kita tahu, berbagai modus korupsi yang muncul di berbagai daerah,
kebanyakan diotaki oleh kepala daerah atau anggota legislatif,dengan
cara yang kasar dan terang-terangan.Tapi tidak ada daya yang cukup untuk
menghentikannya, karena mandulnya fungsi penegakan hukum dari
kepolisian dan kejaksaan.
Sebagaimana
kita tahu,posisi dan peran KPK sebenarnya adalah trigger mechanism.
Artinya, KPK didesain untuk mendorong dan memicu lahirnya semangat dan
tradisi baru dalam penegakan hukum, khususnya bagi aparat penegak hukum
konvensional. Salah satu latar belakang berdirinya KPK adalah karena
aparat penegak hukum konvensional telah gagal dalam mengemban amanat
konstitusi, yakni melakukan pemberantasan korupsi.
Kehadiran
KPK dimaksudkan untuk memberikan teladan, contoh, dan model penegak
hukum yang memiliki integritas,profesionalitas, dan independensi yang
tinggi. Dengan hadirnya KPK perwakilan, ada kesan yang muncul bahwa KPK
akan menggantikan posisi kejaksaan dan kepolisian. Padahal, sejatinya
KPK tidak dimaksudkan untuk sampai pada titik ini.
KPK
lebih banyak diharapkan dapat memberantas korupsi yang melibatkan
pejabat negara dan aparat penegak hukum yang selama ini tidak dapat
disentuh oleh aparat penegak hukum konvensional. Pendek kata, tujuan KPK
dilahirkan, salah satu yang strategis, adalah memberantas korupsi yang
memiliki hambatan politik dan hukum besar. Bukan untuk menangani semua
kasus korupsi. Apabila KPK disibukkan dengan berbagai penanganan kasus
korupsi, KPK akan menjadi tidak fokus, sehingga melupakan hal-hal yang
strategis.
Menghadirkan
KPK perwakilan juga berarti pertaruhan integritas.Sebuah kondisi yang
sulit dipertahankan dalam level yang paling tinggi saat rentang kendali
kian jauh.Dalam ilmu manajemen standar, rentang kendali akan sangat
memengaruhi efektivitas dari kontrol itu sendiri. Dengan demikian,
tantangan KPK perwakilan adalah bagaimana mereka dapat memastikan bahwa
integritas dari orang-orang yang kelak akan mengisi jabatan KPK
perwakilan dapat dijaga dengan baik.
D. DAMPAK YANG TERJADI AKIBAT KORUPSI DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA
Akibat yang ditimbulkan sebagai dampak dari korupsi yaitu
1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
2. ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
3. pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya
Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak
efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah,
memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk
berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan
dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibat-akibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
1. Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3. Tata
politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar
negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4. Tata
administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi,
hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan
kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara
umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendisendi
kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang
tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Upaya penanggulangan korupsi.
Korupsi
tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin
mencapai tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka
akan terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental
pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan
segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu
ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab. Ada beberapa upaya
penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing
memandang dari berbagai segi dan pandangan. Caiden (dalam Soerjono,
1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai
berikut :
a. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu.
b. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
c. Melakukan
perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan
pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang
saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan
penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas
diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
d. Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan meningkatkan ancaman.
e. Korupsi
adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi
dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban
korupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar
sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk
mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan
organisasi.
Cara
yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan
yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal
dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka
untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan
struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi,
misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat,
dengan tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya.
Persoalan
korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara
pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari
segi deduktif saja, melainkan perlu ditinaju dari segi induktifnya
yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical problems), juga harus
dilihat apa yang menyebabkan timbulnya korupsi.
Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
1. Adanya
kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan
partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
7. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur.
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
Marmosudjono (Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam menanggulangi korupsi, perlu
sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para koruptor
di televisi karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal
yang memalukan lagi.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :
a. Preventif.
1. Membangun
dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah
maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik
pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
2. mengusahakan
perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai
dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai
saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh
godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
3. Menumbuhkan
kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan
pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan
melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada
masyarakat dan negara.
4. Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
5. menumbuhkan
pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi
dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung
disalahgunakan.
6. Hal
yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of
belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa
peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan
selalu berusaha berbuat yang terbaik.
b. Represif.
1. Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
2. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.
III. KESIMPULAN
1. Korupsi
adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai demi
keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya.
2. Korupsi
menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan merusak sendi-sendi
kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa.
3. Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan Represif.
Pencegahan(preventif)
yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan membangun etos kerja
pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas antara miliknegara
atau perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan penghasilan
(gaji), menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri
setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau atasan
lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan,
terbuka untuk kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial,
menumbuhkan rasa “sense of belongingness” diantara para pejabat dan
pegawai.
Sedangkan
tindakan yang bersifat Represif adalah menegakan hukum yang berlaku
pada koruptor dan penayangan wajah koruptor di layar televisi dan
herregistrasi (pencatatan ulang) kekayaan pejabat dan pegawai.
0 comments:
Post a Comment
Untuk berkomentar.Silahkan tinggalkan pesan dibawah iniI.Untuk semua pengguna pilih " beri komentar sebagai : ANONIMOUS "