3/9/12

TEKNOLOGI PANGAN SEBAGAI PENDUKUNG KETAHANAN PANGAN

TEKNOLOGI PANGAN SEBAGAI PENDUKUNG KETAHANAN PANGAN
(Pembahas)

I Wayan Rusastra
Peneliti Utama Agro Ekonomi, PSEKP, Bogor, dan Programme Leader R&D, UNESCAP-CAPSA, Bogor



A. Pendahuluan

Makalah yang dibahas: Teknologi Pangan sebagai Pendukung Ketahanan Pangan, merupakan pilihan topik makalah utama yang tepat dalam mendukung tema seminar “Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian sebagai Penggerak Ketahanan Pangan Nasional”. Makalah yang disampaikan Prof. M. Qazuini telah memberikan landasan teoritis yang kuat tentang justifikasi urgensi teknologi pangan dalam mendukung ketahanan pangan. Landasan teoritis ini dinilai mendasar, sehingga tidak perlu ada keraguan lagi tentang prioritas pelaksanaan likaji dan pengembangan teknologi pangan dalam mendukung program pembangunan pertanian daerah dalam rangka peningkatan ketahan pangan masyarakat pedesaan.
Dalam konteks penciptaan dan pemasyarakatan teknologi pangan tentu tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan pemecahan masalah riil dilapangan. Teknologi pangan yang diciptakan dan dikembangkan harus mampu memfasilitasi program pengolahan hasil pertanian dan pengembangan industrui pangan dilapangan. Keberhasilan membangun padu-padan (link and match) tersebut diatas diharapkan mampu mencapai sasaran pembangunan ketahan pangan yang mencakup aspek ketersediaan pangan, aksesibilitas ekonomi, distribusi dan konsumsi pangan, serta keberlanjutan industri pangan.
Makalah bahasan ini akan menyampaikan review ringkas dari makalah yang dibahas, yang selanjutnya dikomplementasi dengan deskripsi kebijakan strategis ketahanan pangan nasional, program pengolahan hasil pertanian, dan pengembangan industri pangan dilapangan. Dari bahasan ini diharapkan dapat dirumuskan strategi pengembangan teknologi pangan dilapangan.




B. Review Ringkas Makalah

Secara ringkas makalah yang ditulis Prof. M. Qazuini, telah mampu memberikan arahan dan rujukan teoritis tentang urgensi dan antisipasi pengembangan teknologi pangan sebagai berikut: (a) Justifikasi urgensi teknologi pangan dalam mendukung ketahanan pangan; (b) Rumusan dimensi dan program ketahanan pangan, khususnya yang terkait dengan aspek ketersediaan pangan; (c) Pemahaman ilmu pangan dan gizi untuk mendapatkan gizi yang cukup dan berimbang untuk dapat hidup sehat dan produktif; (d) Urgensi dari pengolahan pangan, dimana peran penurunan kadar air melalui proses pengeringan merupakan alternatif solusi yang aplikatif; (e) Deskripsi persyaratan yang harus dipenuhi pada setiap tahapan dalam proses pengolahan produk: panen, tempat penyimpanan dan ruangan penyimpanan; (f) Alasan pokok perlunya pengolahan bahan pangan dan teknik utama dalam pengawetan pangan; (g) Deskripsi praktis teknologi pangan (pemberiaan senyawa kimia) dan antisipasi dampaknya yang mencakup peningkatan hasil bahan dasar, mencegah kerusakan, meningkatkan cita rasa, memperbaiki tekstur pangan, menambah nilai gizi, mempermudah pengemasan, dan lain-lain.
Penulis menekankan bahwa teknologi senyawa kimia ini bersifat dinamis dan penggunaannya harus mengikuti kaidah hukum yang berlaku. Disadari bahwa review ringkas ini jauh dari sempurna, dan diyakini tidak merepresentasikan secara utuh dan memadai makalah yang ditulis oleh Prof. M. Qazuini. Seperti disampaikan pada awal bahasan ini, makalah utama ini telah mampu memberikan pedoman teoritis dan pada aspek tertentu bersifat praktis operasional dalam meyakinkan peran dan urgensi teknologi pangan dalam mendukung ketahanan pangan.





C. Kebijakan Strategis Ketahanan Pangan dan Program Pengolahan Hasil Pertanian

Teknologi pangan pada hakekatnya diarahkan untuk memfasilitasi program pengolahan hasil pertanian dengan sasaran dapat mendukung kebijakan strategis ketahanan pangan. Pada tahap awal, sebaiknya dipahami secara baik kebijakan strategis ketahanan pangan nasional saat ini. Bahasan kebijakan strategis ketahanan pangan ini mengacu pada tiga dimensi/indikator utama, yaitu ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan dalam konteks mencapai sasaran ketahanan pangan ditingkat nasional/regional/rumah tangga (Dewan Ketahanan Pangan, 2006).
Strategi umum didalam mewujudkan ketahanan pangan akan ditempuh melalui strategi jalur ganda (twin-track strategy) (Nainggolan, 2006), yaitu: (a) Membangun ekonomi berbasis pertanian dan pedesaan untuk menyediakan lapangan pekerjaan dan pendapatan; (b) Memenuhi pangan bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan melalui pemberian bantuan langsung dan pemberdayaan, agar mereka tidak semakin terpuruk dan mampu mewujudkan ketahan pangan secara mandiri. Dalam implementasinya, strategi ini perlu dilaksanakan secara partisipatif dengan melibatkan semua pihak terkait dengan fasilitasi pemerintah.
Secara lebih spesifik, kebijakan strategis ketahanan pangan pada hakekatnya diarahkan untuk mampu memecahkan permasalahan dan mencapai sasaran pengembangan ketahanan pangan (Nainggolan, 2006; Apriyantono, 2006). Dalam aspek ketersediaan, kebijakan strategis diarahkan kepada: (a) Meningkatkan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan; (b) Meningkatkan infrastruktur pertanian dan pedesaan; (c) Meningkatkan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri; dan (d) Mengembangkan kemampuan pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan masyarakat.
Terkait dengan pencapaian sasaran dalam aspek distribusi, sedikitnya terdapat empat kebijakan strategis yang diarahkan pada: (a) Meningkatkan sarana dan prasarana untuk perbaikan efisiensi distribusi dan perdagangan pangan; (b) Mengurangi dan/atau menghilangkan peraturan daerah yang menghambat distribusi pangan antar daerah; (c) Mengembangkan kelembagaan dan sarana fisik pengolahan dan pemasaran di pedesaan; dan (d) Menyusu kebijakan harga pangan untuk melindungi produsen dan konsumen.
Dalam aspek konsumsi, kebijakan strategis ketahanan pangan diarahkan pada: (a) Meningkatkan kemampuan akses pangan rumah tangga sesuai dengan kebutuhan menurut jumlah, mutu, keamanan, dan keseimbangan gizi; (b) Mendorong, mengembangkan, dan memfasilitasi peran serta masyarakat dalam memnuhi hak atas pangan khususnya bagi kelompok kurang mampu; (c) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas intervensi bantuan pangan dan pangan bersubsidi kepada golongan masyarakat rawan pangan; dan (d) Mempercepat proses diversifikasi pangan kearah konsumsi yang beragam, bergizi dan berimbang.
Permasalahan terkait dengan upaya membangun usaha pengolahan diantaranya (Damardjati, 2006), adalah: (a) Skala usaha kecil dan tersebar, sehingga berdampak kepada tingginya inefisiensi karena besarnya biaya pemasaran; (b) Masih rendahnya standar penangan pasca panen dan pengolahan; (c) Kinerja teknologi pengolahan dinilai belum mampu menghasilkan produk olahan berdaya saing tinggi sesuai dengan tuntutan kompetisi pasar yang semakin tinggi; (d) Mutu produk olahan dinilai masih rendah, kuantitas rendah, dan adanya inkontinuitas produk.
Sedikitnya terdapat dua program yang terkait langsung dengan pembangunan usaha pengolahan yaitu program pengembangan pasca panen/ pengolahan; dan program pengembangan sistim manajemen mutu dan standarisasi. Program pengembangan pasca panen dan pengolahan mencakup program pengembangan kecamatan pasca panen; dan program pengembangan kawasan agro-industri pedesaan. Deskripsi program pengembangan kecamatan pasca panen adalah sebagai berikut: (a) Penumbuhan kelembagaan pasca panen dalam kawasan kecamatan dengan antisipasi akan memudahkan pembinaan dan penerapan teknologi; (b) Kelembagaan kelompok pasca panen yang telah terbina dengan baik diharapkan akan menjadi modal dasar dalam membangun jaringan pemasaran berbasis supply chain manajemen (SCM); dan (c) Keanggotaan kelompok pasca panen terdiri dari petani/kelompok tani dan stakeholder lainnya.
Deskripsi program pengembangan kawasan agro-industri pedesaan mencakup: (a) Pengembangan unit pengolahan yang terintegrasi dengan sentra produksi bahan baku dan sarana penunjangnya; (b) Pengembangan usaha pengolahan skala rumah tangga dan kecil yang didukung oleh industri sejenis skala menengah dan besar; (c) Pengembangan manajemen pengolahan hasil tanaman pangan.
Progress pengembangan system manajemen mutu dan standarisasi mencakup aspek (Damardjati, 2006): pengembangan sistim manajemen mutu; pengembangan sistim sertifikasi dan pelabelan; dan pengembangan sistim akreditasi. Target dari pengembangan ini adalah terbangunnya sistim sertifikasi dan pelabelan mutu beras, dan terbangunnya sistim sertifikasi pangan (palawija) dan produk pertanian lainnya.
Program terkait dengan pasca panen dan pengolahan ini harus dilakukan secara komplemen dan sinergis dengan program pengembangan pemasaran yang mencakup (Damardjati, 2006): (a) Pengembangan pasar dalam negeri yang diikuti dengan tingkat proteksi yang memadai; (b) Pengembangan infrastruktur pemasaran (fisik dan kelembagaan) dengan sasaran peningkatan efisiensi pemasaran; (c) Pengembangan jaringan pemasaran berbasis supply chain management (SCM); (d) Pengembangan sistim informasi pemasaran; dan (e) Pengembangan pasar ekspor serta penguatan negosiasi dan lobi di forum regional dan internasional.





D. Pengembangan Industri Pangan

Pembelajaran dari lapangan, menarik untuk diungkap pengalaman Garuda Food dalam pengembangan industri pangan (palawija), khususnya kacang tanah (Sibarani, 2006) dengan narasi ringkas sebagai berikut: (a) Kacang tanah sebagai “branded product” harganya relatif stabil karena produknya yang bersifat spesifik; (b) Industri bertumbuh secara berkelanjutan, karena adanya kontinuitas penawaran dan permintaan yang pada akhirnya berdampak pada stabilitas harga; (c) Kebijakan dan program pengembangan industri harus mampu memberikan nilai tambah sepanjang rantai (primer-sekunder-tertier) melalui pengembangan R&D, teknis proses dan pengembangan produk, distribusi logistik, dan promosi pemasaran; (d) Pengembangan industri melalui pendekatan kemitraan secara terpadu sehingga mampu mencapai kinerja industri secara baik (kondisi lancar) dan tidak terdapat pembatas yang berarti dalam pengembangan lahan usaha.
Tujuan kemitraan yang dikembangkan Garudafood adalah: (a) Menjamin kontinuitas supply bahan baku industri; (b) Menjamin kualitas bahan baku; (c) Memberikan kepastian harga; dan (d) Membangun kemitraan seluas-luasnya dan memberdayakan potensi yang ada didaerah. Strategi kemitraan yang dipertimbangkan mencakup: (a) Intensifikasi: menggunakan sarana produksi pertanian yang direkomendasikan oleh industri maupun Dinas Pertanian setempat; (b) Ekstensifikasi: dengan penggunaan lahan HGU atau penggunaan lahan perkebunan dengan sistim tumpangsari dan rotasi; dan (c) Persyaratan teknis: kesesuaian faktor agronomi, komoditas (varietas), kesepakatan, dan lain-lain.
Dalam konteks pengembangan pertanian (produksi-pengolahan-pemasaran) menarik untuk diungkap keberhasilan Gorontalo dalam pengembangan program agropolitan berbasis komoditas jagung (Muhammad, 2006). Terdapat sembilan pilar menuju pembangunan pertanian modern (agribisnis jagung) sebagai berikut: (1) Pengembangan dan penyediaan alsintan; (2) Penyediaan dana penjamin petani (APBD + ASKRINDO + Bank BRI + Bank Mandiri + Bank BNI); (3) Penyediaan benih unggul, pupuk, dan pengendalian hama penyakit; (4) Memperlancar pemasaran dengan jaminan harga dasar melalui BUMD; (5) Pembangunan prasarana irigasi dan jalan akses agropolitan; (6) Percontohan (show window) disetiap kabupaten/kecamatan Posko Agropolitan; (7) Peningkatan SDM pertanian; (8) Peningkatan peran Maize Center dalam penelitian dan pengkajian teknologi; (9) Perencanaan dan koordinasi, khususnya dalam mencapai efisiensi dan efetivitas pengembangan infrastruktur.
Kegiatan pasca panen dan penyuluhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Pilar 4: Memperlancar pemasaran dengan jaminan harga dasar melalui BUMD dengan cakupan aktivitas: (a) Melakukan pembinaan dan koordinasi dengan pengusaha, pedagang pengumpul, pedagang besar dalam mempertahankan tingkat harga yang layak untuk petani; (b) Promosi dan kerjasama dengan pengusaha diluar daerah maupun diluar negeri dalam pemasaran jagung dan komoditas lainnya; (c) Pembinaan dan penanganan pasca panen untuk meningkatkan kualitas produksi; dan (d) Pembinaan dan penanganan pengolahan untuk menghasilkan produk olahan.
Menarik untuk dikemukakan strategi program kemitraan dalam pengembangan agribisnis jagung di Gorontalo yang dimulai dari Sektor Hilir, yaitu pemasaran (Muhammad, 2006) dengan justifikasi sebagai berikut: (a) Eksistensi pasar akan menjamin kepastian harga dan keuntungan pelaku agribisnis jagung; (b) Kepastian harga akan mendorong peningkatan usahatani jagung yang berdampak pada peningkatan produksi, pendapatan petani, keuntungan pedagang, dan memudahkan investor menghitung besarnya investasi yang ditanam didaerah (Gorontalo); dan (d) Mendorong para pengusaha, petani, dan institusi pemerintah dari provinsi tetangga untuk menjual jagung ke Gorontalo.




E. Strategi Pengembangan Teknologi Pangan

Mengacu pada hasil pembahasan sebelumnya dapat dirumuskan beberapa kebijakan strategis dalam pengembangan teknologi pangan, sebagai berikut:
1. Pengembangan teknologi pangan harus memenuhi kualifikasi teknis, ekonomis, dan sosial, sehingga mampu menghasilkan produk olahan yang memenuhi persyaratan mutu, berdaya saing, dan ramah lingkungan;
2. Pengembangan teknologi pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan aspek sertifikasi dan standarisasi produk, serta perlu mendapatkan dukungan efisiensi pemasaran yang memadai. Sasarannya adalah agar nilai tambah dan bagian harga yang diterima petani pengolah relatif tinggi dan menguntungkan sebagai bagian insentif pengembangan usaha.
3. Pengembangan teknologi pangan harus mampu memecahkan permasalahan riril yang dihadapi masyarakat, dapat memfasilitasi program pasca panen dan pengolahan, serta dapat secara meyakinkan memberi dukungan terhadap pencapaian sasaran kebijakan strategis ketahanan pangan.
4. Kebijakan pengembangan teknologi pangan sepantasnya memberikan otonomi yang luas kepada pemerintah daerah, mengingat penguasaan sumber daya, pendanaan, dan otoritas perencanaan ada didaerah. Fasilitasi pengembangan SDM, pengembangan teknologi, pendampingan teknis dan manajemen perlu diberikan secara maksimal pada pemerintah/masyarakat didaerah.
5. Pemilihan komoditas prospektif, pendekatan partisipatif dan pemberdayaan, pelibatan peran swasta, dan pengembangan jaringan kerja domestik dan internasional dalam pengembangan industri pengolahan (agroindustri) di pedesaan perlu dipahami justifikasi dan urgensinya dan diupayakan secara koordinatif dan sungguh-sungguh oleh pemerintah daerah bersama-sama dengan masyarakat.
6. Program kemitraan dinilai tetap relevan dalam pengembangan agroindustri dalam perspektif sharing resiko (teknis, ekonomi dan sosial), dengan fasilitasi pemerintah. Program kemitraan hendaknya diinisiasi dari penanganan aspek pemasaran, yang dinilai mampu memberikan insentif dan mendorong partisipasi pelaku terkait dengan lebih efektif.
7. Program Primatani sebaiknya dibangun dengan mempertimbangkan basis industri pengolahan komoditas tertentu, dengan kawasan wilayah kecamatan. Pengembangan keterkaitan fungsional dan institusional ke hulu (subsistim produksi) dan ke hilir (subsistim pemasaran) akan dapat dibangun dengan lebih mudah dan lebih efektif

F. Penutup

Landasan teoritis dalam pengembangan teknologi pangan yang disampaikan Prof. M. Qazuini telah memberikan arah dan justifikasi yang kuat tentang urgensi dan prioritas litkaji dan pengembangan teknologi pangan. Dalam pengembangannya, teknologi pangan diharapkan mampu memfasilitasi program pasca panen dan pengolahan hasil pertanian, serta dapat secara efektif mendukung kebijakan strategi ketahanan pangan.
Mengacu pada permasalahan dan program pengolahan dan pemasaran hasil pertanian serta kebijakan strategi ketahanan pangan (ketersediaan, distribusi dan konsumsi), dan keberhasilan swasta (kasus Garudafood) dan daerah (kasus Pemerintah Daerah Gorontalo) dalam pengembangan agribisnis jagung dapat dirumuskan kebijakan strategis pengembangan teknologi pangan. Kebijakan strategis tersebut mencakup aspek pengembangan kualifikasi teknologi; keterpaduan pengolahan dan pemasaran; relevansi dan efektivitas teknologi; pemberian otonomi luas kepada daerah; pelibatan swasta/pemilihan komoditas prospektif berbasis pemberdayaan/dan pengembangan jaringan kerja secara luas; pengembangan program kemitraan berawal/berbasis pemasaran; dan pengembangan program Primatani berbasis industri pengolahan.

Daftar Pusaka

Apriyantono, A. 2006. Kinerja dan Kebijakan Strategis Pembangunan Pangan Nasional. Makalah disampaikan pada “Silahturahmi Nasional Anggota Legislatif Partai Keadilan Sejahtera”, di Auditorium BPPT, Jl. .H. Thamrin No. 8, Jakarta, 30 April 2006.
Damardjati, D.S. 2006. Kebijakan dan Program Nasional Pengembangan Agribisnis Palawija. Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Berbasis Palawija, UNESCAP-CAPSA dan Puslitbang Tanaman Pangan, di Bogor, 13 Juli 2006.
Dewan Ketahanan Pangan. 2006. kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Departemen Pertanian, Jakarta.
Muhammad, F. 2006. Pengembangan Infrastruktur sebagai Pilar Menuju Pembangunan Pertanian Modern di Gorontalo. Seminar Nasional Agribisnis Berbasis Palawija. UNESCAP-CAPSA dan Puslitbang Tanaman Pangan, di Bogor, 13 Juli 2006.
Nainggolan, K. 2006. Kebijakan Ketahanan Pangan. Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Nainggolan, K. 2006. Peran Agribisnis Palawija dalam Peningkatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pedesaan. Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis Berbasis Palawija. Seminar Nasional Agribisnis Berbasis Palawija. UNESCAP-CAPSA dan Puslitbang Tanaman Pangan, di Bogor, 13 Juli 2006.
Sibarani, F.M.A. 2006, Kemitraan Agroindustri Palawija. Seminar Nasional Nasional Agribisnis Berbasis Palawija. UNESCAP-CAPSA dan Puslitbang Tanaman Pangan, di Bogor, 13 Juli 2006.

0 comments:

Post a Comment

Untuk berkomentar.Silahkan tinggalkan pesan dibawah iniI.Untuk semua pengguna pilih " beri komentar sebagai : ANONIMOUS "

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Copyright © 2012. Poetra Sentence™ - All Rights Reserved B-Seo Versi 3 by Blog Bamz