MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
-----
DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA
Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
REPUBLIK INDONESIA
-----
DEMOKRASI DAN HAK ASASI MANUSIA
Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
A. Demokrasi, HAM, dan Negara
HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.
Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan kemanusiaan dan ketuhanan.
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta. Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya, muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi sosial tersebut.
Kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter atau pun legitimasi pragmatis. Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi diatas akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter.
Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial, untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama. Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya.
Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.
Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.
Sebagaimana telah berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebenarnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disahkan sebelumnya, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 27 materi berikut:
1. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
2. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
3. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
4. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
5. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
6. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
7. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
8. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
9. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
10. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
11. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
12. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
13. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
14. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
15. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
16. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
17. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
18. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
19. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
20. Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
21. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa.
22. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya.
23. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
24. Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
25. Untuk menjamin pelaksanaan Pasal 4 ayat (5) tersebut di atas, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen menurut ketentuan yang diatur dengan undang-undang.
26. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
27. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Jika ke-27 ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan elemen baru yang bersifat menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakup ketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka rumusan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar dapat mencakup lima kelompok materi sebagai berikut:
1. Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan menjadi:
a. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
b. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.
c. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan.
d. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
e. Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani.
f. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.
g. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
h. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
i. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
j. Setiap orang berhak akan status kewarganegaraan.
k. Setiap orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan dan kembali ke negaranya.
l. Setiap orang berhak memperoleh suaka politik.
m. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.
Terhadap hak-hak sipil tersebut, dalam keadaan apapun atau bagaimanapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak-hak yang ditentukan dalam Kelompok 1 “a” sampai dengan “h”. Namun, ketentuan tersebut tentu tidak dimaksud dan tidak dapat diartikan atau digunakan sebagai dasar untuk membebaskan seseorang dari penuntutan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diakui menurut ketentuan hukum Internasional. Pembatasan dan penegasan ini penting untuk memastikan bahwa ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak yang berusaha membebaskan diri dari ancaman tuntutan. Justru di sinilah letak kontroversi yang timbul setelah ketentuan Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan beberapa waktu yang lalu.
2. Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya
a. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapatnya secara damai.
b. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat.
c. Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik.
d. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan.
e. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan.
f. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.
g. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat.
h. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
i. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran.
j. Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia.
k. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa.
l. Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
m. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya.
3. Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan
a. Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama.
b. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mencapai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional.
c. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
d. Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya.
e. Setiap warga negara berhak untuk berperan serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.
f. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
g. Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminasi dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini, tidak termasuk dalam pengertian diskriminasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (13).
4. Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia
a. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas dan kesusilaan, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.
c. Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.
d. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan dan kedudukannya diatur dengan undang-undang.
Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan dianggap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggungjawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidupnya sejak sebelum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia. Pembentukan negara dan pemerintahan, untuk alasan apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewajiban yang disandang oleh setiap manusia. Karena itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak ditentukan oleh kedudukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di manapun ia berada harus dijamin hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya. Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bangsa Indonesia memahami bahwa The Universal Declaration of Human Rights yang dicetuskan pada tahun 1948 merupakan pernyataan umat manusia yang mengandung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia juga memandang bahwa The Universal Declaration of Human Responsibility yang dicetuskan oleh Inter-Action Council pada tahun 1997 juga mengandung nilai universal yang wajib dijunjung tinggi untuk melengkapi The Universal Declaration of Human Rights tersebut. Kesadaran umum mengenai hak-hak dan kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi Indonesia, dan karena itu, perlu diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikembangkan sendiri oleh bangsa Indonesia. Karena itu, perumusannya dalam Undang-Undang Dasar ini mencakup warisan-warisan pemikiran mengenai hak asasi manusia di masa lalu dan mencakup pula pemikiran-pemikiran yang masih terus akan berkembang di masa-masa yang akan datang.
B. Perkembangan Demokrasi dan HAM
Sejak awal abad ke-20, gelombang aspirasi ke arah kebebasan dan kemerdekaan umat manusia dari penindasan penjajahan meningkat tajam dan terbuka dengan menggunakan pisau demokrasi dan hak asasi manusia sebagai instrumen perjuangan yang efektif dan membebaskan. Puncak perjuangan kemanusiaan itu telah menghasilkan perubahan yang sangat luas dan mendasar pada pertengahan abad ke-20 dengan munculnya gelombang dekolonisasi di seluruh dunia dan menghasilkan berdiri dan terbentuknya negara-negara baru yang merdeka dan berdaulat di berbagai belahan dunia. Perkembangan demokratisasi kembali terjadi dan menguat pasca perang dingin yang ditandai runtuhnya kekuasaan komunis Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini kemudian diikuti proses demokratisasi di negara-negara dunia ketiga pada tahun 1990-an.
Semua peristiwa yang mendorong munculnya gerakan kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai ciri-ciri hubungan kekuasaan yang menindas dan tidak adil, baik dalam struktur hubungan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain maupun dalam hubungan antara satu pemerintahan dengan rakyatnya. Dalam wacana perjuangan untuk kemerdekaan dan hak asasi manusia pada awal sampai pertengahan abad ke-20 yang menonjol adalah perjuangan mondial bangsa-bangsa terjajah menghadapi bangsa-bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di semua negara yang terjajah secara mudah terbangkitkan semangatnya untuk secara bersama-sama menyatu dalam gerakan solidaritas perjuangan anti penjajahan.
Sedangkan yang lebih menonjol selama paruh kedua abad ke-20 adalah perjuangan rakyat melawan pemerintahan yang otoriter. Wacana demokrasi dan kerakyatan di suatu negara, tidak mesti identik dengan gagasan rakyat di negara lain yang lebih maju dan menikmati kehidupan yang jauh lebih demokratis. Karena itu, wacana demokrasi dan hak asasi manusia di zaman sekarang juga digunakan, baik oleh kalangan rakyat yang merasa tertindas maupun oleh pemerintahan negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di negara-negara lain yang dianggap tidak demokratis.
Karena itu, pola hubungan kekuasaan antar negara dan aliansi perjuangan di zaman dulu dan sekarang mengalami perubahan struktural yang mendasar. Dulu, hubungan internasional diperankan oleh pemerintah dan rakyat dalam hubungan yang terbagi antara hubungan Government to Government (G to G) dan hubungan People to People (P to P). Sekarang, pola hubungan itu berubah menjadi bervariasi, baik G to G, P to P maupun G to P atau P to G. Semua kemungkinan bisa terjadi, baik atas prakarsa institusi pemerintahan ataupun atas prakarsa perseorangan rakyat biasa. Bahkan suatu pemerintahan negara lain dapat bertindak untuk melindungi warga-negara dari negara lain atas nama perlindungan hak asasi manusia.
Dengan perkataan lain, masalah pertama yang kita hadapi dewasa ini adalah bahwa pemahaman terhadap konsep hak asasi manusia itu haruslah dilihat dalam konteks relationalistic perspectives of power yang tepat. Bahkan, konsep hubungan kekuasaan itu sendiripun juga mengalami perubahan berhubung dengan kenyataan bahwa elemen-elemen kekuasaan itu dewasa ini tidak saja terkait dengan kedudukan politik melainkan juga terkait dengan kekuasaan-kekuasaan atas sumber-sumber ekonomi, dan bahkan teknologi dan industri yang justru memperlihatkan peran yang makin penting dewasa ini. Oleh karena itu, konsep dan prosedur-prosedur hak asasi manusia dewasa ini selain harus dilihat dalam konteks hubungan kekuasaan politik, juga harus dikaitkan dengan konteks hubungan kekuasaan ekonomi dan industri.
Dalam kaitan dengan itu, pola hubungan kekuasaan dalam arti yang baru itu dapat dilihat sebagai hubungan produksi yang menghubungkan antara kepentingan produsen dan kepentingan konsumen. Dalam era industrialisasi yang terus meningkat dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat dewasa ini, dinamika proses produksi dan konsumsi ini terus berkembang di semua sektor kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan umat manusia dewasa ini. Kebijakan politik, misalnya, selain dapat dilihat dengan kacamata biasa, juga dapat dilihat dalam konteks produksi. Negara, dalam hal ini merupakan produsen, sedangkan rakyat adalah konsumennya. Karena itu, hak asasi manusia di zaman sekarang dapt dipahami secara konseptual sebagai hak konsumen yang harus dilindungi dari eksploitasi demi keuntungan dan kepentingan sepihak kalangan produsen.
Dalam hubungan ini, konsep dan prosedur hak asasi manusia mau tidak mau harus dikaitkan dengan persoalan-persoalan:
1. Struktur kekuasaan dalam hubungan antar negara yang dewasa ini dapat dikatakan sangat timpang, tidak adil, dan cenderung hanya menguntungkan negara-negara maju ataupun negara-negara yang menguasai dan mendominasi proses-proses pengambilan keputusan dalam berbagai forum dan badan-badan internasional, baik yang menyangkut kepentingan-kepentingan politik maupun kepentingan-kepentingan ekonomi dan kebudayaan.
2. Struktur kekuasaan yang tidak demokratis di lingkungan internal negara-negara yang menerapkan sistem otoritarianisme yang hanya menguntungkan segelintir kelas penduduk yang berkuasa ataupun kelas penduduk yang menguasai sumber-sumber ekonomi.
3. Struktur hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara pemodal dengan pekerja dan antara pemodal beserta manajemen produsen dengan konsumen di setiap lingkungan dunia usaha industri, baik industri primer, industri manufaktur maupun industri jasa.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pola hubungan “atas-bawah”, baik pada peringkat lokal, nasional, regional maupun global antara lain adalah faktor kekayaan dan sumber-sumber ekonomi, kewenangan politik, tingkat pendidikan atau kecerdasan rata-rata, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, citra atau nama baik, dan kekuatan fisik termasuk kekuatan militer. Makin banyak faktor-faktor tersebut di atas dikuasai oleh seseorang, atau sekelompok orang ataupun oleh suatu bangsa, makin tinggi pula kedudukannya dalam stratifikasi atau peringkat pergaulan bersama. Di pihak lain, makin tinggi peringkat seseorang, kelompok orang ataupun suatu bangsa di atas orang lain atau kelompok lain atau bangsa lain, makin besar pula kekuasaan yang dimilikinya serta makin besar pula potensinya untuk memperlakukan orang lain itu secara sewenang-wenang demi keuntungannya sendiri. Dalam hubungan-hubungan yang timpang antara negara maju dengan negara berkembang, antara suatu pemerintahan dengan rakyatnya, dan bahkan antara pemodal atau pengusaha dengan konsumennya inilah dapat terjadi ketidakadilan yang pada gilirannya mendorongnya munculnya gerakan perjuangan hak asasi manusia dimana-mana. Karena itu, salah satu aspek penting yang tak dapat dipungkiri berkenaan dengan persoalan hak asasi manusia adalah bahwa persoalan ini berkaitan erat dengan dinamika perjuangan kelas (meminjam istilah Karl Marx) yang menuntut keadilan.
Sering dikemukakan bahwa pengertian konseptual hak asasi manusia itu dalam sejarah instrumen hukum internasional setidak-tidaknya telah melampaui tiga generasi perkembangan. Ketiga generasi perkembangan konsepsi hak asasi manusia itu adalah:
Generasi Pertama, pemikiran mengenai konsepsi hak asasi manusia yang sejak lama berkembang dalam wacana para ilmuwan sejak era enlightenment di Eropa, meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum internasional yang resmi. Puncak perkembangan generasi pertama hak asasi manusia ini adalah pada persitiwa penandatanganan naskah Universal Declaration of Human Rights Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlindungan hak asasi manusia itu tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara, seperti di Inggris dengan Magna Charta dan Bill of Rights, di Amerika Serikat dengan Declaration of Independence, dan di Perancis dengan Declaration of Rights of Man and of the Citizens. Dalam konsepsi generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.
Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia Generasi Kedua, di samping adanya International Couvenant on Civil and Political Rights, konsepsi hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua ini tercapai dengan ditandatanganinya International Couvenant on Economic, Social and Cultural Rights pada tahun 1966.
Kemudian pada tahun 1986, muncul pula konsepsi baru hak asasi manusia yaitu mencakup pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau rights to development. Hak atas atau untuk pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya. Konsepsi baru inilah yang oleh para ahli disebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Ketiga.
Namun demikian, ketiga generasi konsepsi hak asasi manusia tersebut pada pokoknya mempunyai karakteristik yang sama, yaitu dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, antara rakyat dan pemerintahan dalam suatu negara. Setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia mulai dari generasi pertama sampai ketiga selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa dikategorikan sebagai crime by government yang termasuk ke dalam pengertian political crime (kejahatan politik) sebagai lawan dari pengertian crime against government (kejahatan terhadap kekuasaan resmi). Karena itu, yang selalu dijadikan sasaran perjuangan hak asasi manusia adalah kekuasaan represif negara terhadap rakyatnya. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman sekarang dan di masa-masa mendatang, sebagaimana diuraikan di atas dimensi-dimensi hak asasi manusia itu akan berubah makin kompleks sifatnya.
Persoalan hak asasi manusia tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan-hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal, antar kelompok masyarakat, antara golongan rakyat atau masyarakat, dan bahkan antar satu kelompok masyarakat di suatu negara dengan kelompok masyarakat di negara lain.
Konsepsi baru inilah yang saya sebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Keempat seperti telah saya uraikan sebagian pada bagian terdahulu. Bahkan sebagai alternatif, menurut pendapat saya, konsepsi hak asasi manusia yang terakhir inilah yang justru tepat disebut sebagai Konsepsi HAM Generasi Kedua, karena sifat hubungan kekuasaan yang diaturnya memang berbeda dari konsepsi-konsep HAM sebelumnya. Sifat hubungan kekuasaan dalam konsepsi Generasi Pertama bersifat vertikal, sedangkan sifat hubungan kekuasaan dalam konsepsi Generasi Kedua bersifat horizontal. Dengan demikian, pengertian konsepsi HAM generasi kedua dan generasi ketiga sebelumnya cukup dipahami sebagai perkembangan varian yang sama dalam tahap pertumbuhan konsepsi generasi pertama.
Menjelang berakhirnya abad ke-20, kita menyaksikan munculnya beberapa fenomena baru yang tidak pernah ada ataupun kurang mendapat perhatian di masa-masa sebelumnya. Pertama, kita menyaksikan munculnya fenomena konglomerasi berbagai perusahaan berskala besar dalam suatu negara yang kemudian berkembang menjadi Multi National Corporations (MNC’s) atau disebut juga Trans-National Corporations (TNC’s) dimana-mana di dunia. Fenomena jaringan kekuasaan MNC atau TNC ini merambah wilayah yang sangat luas, bahkan jauh lebih luas dari jangkauan kekuasaan negara, apalagi suatu negara yang kecil yang jumlahnya sangat banyak di dunia. Dalam kaitannya dengan kekuasaan perusahaan-perusahaan besar ini, yang lebih merupakan persoalan kita adalah implikasi-implikasi yang ditimbulkan oleh kekuasaan modal yang ada di balik perusahaan besar itu terhadap kepentingan konsumen produk yang dihasilkannya. Dengan perkataan lain, hubungan kekuasaan yang dipersoalkan dalam hal ini adalah hubungan kekuasaan antara produsen dan konsumen. Masalahnya adalah bagaimana hak-hak atau kepentingan-kepentingan konsumen tersebut dapat dijamin, sehingga proses produksi dapat terus dikembangkan dengan tetap menjamin hak-hak konsumen yang juga harus dipandang sebagai bagian yang penting dari pengertian kita tentang hak asasi manusia.
Kedua, abad ke-20 juga telah memunculkan fenomena Nations without State, seperti bangsa Kurdi yang tersebar di berbagai negara Turki dan Irak; bangsa Cina Nasionalis yang tersebar dalam jumlah yang sangat besar di hampir semua negara di dunia; bangsa Persia (Iran), Irak, dan Bosnia yang terpaksa berkelana kemana-mana karena masalah-masalah politik yang mereka hadapi di negeri asal mereka. Persoalan status hukum kewarganegaraan bangsa-bangsa yang terpaksa berada di mana-mana tersebut, secara formal memang dapat diatasi menurut ketentuan hukum yang lazim. Misalnya, bangsa Kurdi yang tinggal di Irak Utara sudah tentu berkewar ganegaraan Irak, mereka yang hidup dan menetap di Turki tentu berkewarganegaraan Turki, dan demikian pula mereka yang hidup di negara-negara lain dapat menikmati status keawarganegaraan di negara mana mereka hidup. Akan tetapi, persoalan kebangsaan mereka tidak serta merta terpecahkan karena pengaturan hukum secara formal tersebut.
Ketiga, dalam kaitannya dengan fenomena pertama dan kedua di atas, mulai penghujung abad ke-20 telah pula berkembang suatu lapisan sosial tertentu dalam setiap masyarakat di negara-negara yang terlibat aktif dalam pergaulan internasional, yaitu kelompok orang yang dapat disebut sebagai global citizens. Mereka ini mula-mula berjumlah sedikit dan hanya terdiri dari kalangan korps diplomatik yang membangun kelompok pergaulan tersendiri. Di kalangan mereka ini berikut keluarganya, terutama para diplomat karir yang tumbuh dalam karir diplomat yang berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, terbentuk suatu jaringan pergaulan tersendiri yang lama kelamaan menjadi suatu kelas sosial tersendiri yang terpisah dari lingkungan masyarakat yang lebih luas. Sebagai contoh, di setiap negara, terdapat apa yang disebut dengan diplomatic shop yang bebas pajak, yang secara khusus melayani kebutuhan para diplomat untuk berbelanja. Semua ini memperkuat kecenderungan munculnya kelas sosial tersendiri yang mendorong munculnya kehidupan baru di kalangan sesama diplomat.
Bersamaan dengan itu, di kalangan para pengusaha asing yang menanamkan modal sebagai investor usaha di berbagai negara, juga terbentuk pula suatu kelas sosial tersendiri seperti halnya kalangan korps diplomatik tersebut. Bahkan, banyak di antara para pekerja ataupun pengusaha asing tugasnya terus menerus di luar negeri, berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, yang jangkauan pergaulan mereka lebih cocok untuk menyatu dengan dunia kalangan diplomat seperti tersebut di atas, daripada bergaul dengan penduduk asli dari negara-negara tempat mereka bekerja ataupun berusaha. Dari kedua kelompok bisnis dan diplomatik inilah muncul fenomena baru di kalangan banyak warga dunia, meskipun secara resmi memiliki status kewarganegaraan tertentu, tetapi mobilitas mereka sangat dinamis, seakan-akan menjadi semacam global citizens yang bebas bergerak ke mana-mana di seluruh dunia.
Keempat, dalam berbagai literatur mengenai corporatisme negara, terutama di beberapa negara yang menerapkan prosedur federal arrangement, dikenal adanya konsep corporate federalism sebagai sistem yang mengatur prinsip representasi politik atas dasar pertimbangan-pertimbangan ras tertentu ataupun pengelompokan kultural penduduk. Pembagian kelompok English speaking community dan French speaking community di Kanada, kelompok Dutch speaking community dan German speaking community di Belgia, dan prinsip representasi politik suku-suku tertentu dalam kamar parlemen di Austria, dapat disebut sebagai corporate federalism dalam arti luas. Kelompok-kelompok etnis dan kultural tersebut diperlakukan sebagai suatu entitas hukum tersendiri yang mempunyai hak politik yang bersifat otonom dan karena itu berhak atas representasi yang demokratis dalam institusi parlemen. Pengaturan entitas yang bersifat otonom ini, diperlukan seakan-akan sebagai suatu daerah otonom ataupun sebagai suatu negara bagian yang bersifat tersendiri, meskipun komunitas-komunitas tersebut tidak hidup dalam suatu teritorial tertentu. Karena itu, pengaturan demikian ini biasa disebut dengan corporate federalism.
Keempat fenomena yang bersifat sosio-kultural tersebut di atas dapat dikatakan bersifat sangat khusus dan membangkitkan kesadaran kita mengenai keragaman kultural yang kita warisi dari masa lalu, tetapi sekaligus menimbulkan persoalan mengenai kesadaran kebangsaan umat manusia yang selama ini secara resmi dibatasi oleh batas-batas teoritorial satu negara. Sekarang, zaman sudah berubah. Kita memasuki era globalisasi, di mana ikatan batas-batas negara yang bersifat formal itu berkembang makin longgar. Di samping ikatan-ikatan hukum kewarganegaraan yang bersifat formal tersebut, kesadaran akan identitas yang dipengaruhi oleh faktor-faktor historis kultural juga harus turut dipertimbangkan dalam memahami fenomena hubungan-hubungan kemanusiaan di masa mendatang. Oleh karena itu, dimensi-dimensi hak asasi manusia di zaman sekarang dan apalagi nanti juga tidak dapat dilepaskan begitu saja dari perubahan corak-corak pengertian dalam pola-pola hubungan yang baru itu.
Dengan perkataan lain, hubungan-hubungan kekuasaan di zaman sekarang dan nanti, selain dapat dilihat dalam konteks yang bersifat vertikal dalam suatu negara, yaitu antara pemerintah dan rakyatnya, juga dapat dilihat dalam konteks hubungan yang bersifat horizontal sebagaimana telah diuraikan pada bagian pertama tulisan ini. Konteks hubungan yang bersifat horizontal itu dapat terjadi antar kelompok masyarakat dalam satu negara dan antara kelompok masyarakat antar negara. Di zaman industri sekarang ini, corak hubungan yang bersifat horizontal tersebut untuk mudahnya dapat dilihat sebagai proses produksi dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu mencakup pula pengertian produksi dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal, dimana setiap kebijakan pemerintahan dapat disebut sebagai produk yang dikeluarkan oleh pemerintah yang merupakan produsen, sedangkan rakyat banyak merupakan pihak yang mengkonsumsinya atau konsumennya. Demikian pula setiap perusahaan adalah produsen, sedangkan produk dibeli dan dikonsumsi oleh masyarakat konsumennya. Dengan perkataan lain, hak konsumen dalam arti yang luas ini dapat disebut sebagai dimensi baru hak asasi manusia yang tumbuh dan harus dilindungi dari kemungkinan penyalahgunaan atau tindakan-tindakan sewenang-wenang dalam hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara pihak produsen dengan konsumennya.
Perkembangan konsepsi yang terakhir ini dapat disebut sebagai perkembangan konsepsi hak asasi manusia generasi kelima dengan ciri pokok yang terletak dalam pemahaman mengenai struktur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen yang memiliki segala potensi dan peluang untuk melakukan tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil. Kita semua harus menyadari perubahan struktur hubungan kekuasaan ini, sehingga tidak hanya terpaku pada kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam pengertian konvensional saja. Hanya dengan menyadari perubahan ini kita dapat menawarkan pemecahan dalam perjuangan kolektif untuk menegakkan dan memajukan hak asasi manusia di masa yang akan datang.
C. Kewajiban Perlindungan dan Pemajuan HAM
Konsepsi HAM yang pada awalnya menekankan pada hubungan vertikal, terutama dipengaruhi oleh sejarah pelanggaran HAM yang terutama dilakukan oleh negara, baik terhadap hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagai konsekuensinya, disamping karena sudah merupakan tugas pemerintahan, kewajiban utama perlindungan dan pemajuan HAM ada pada pemerintah. Hal ini dapat kita lihat dari rumusan-rumusan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang merupakan pengakuan negara terhadap hak asasi manusia sebagaimana menjadi substansi dari ketiga instrumen tersebut. Konsekuensinya, negara-lah yang terbebani kewajiban perlindungan dan pemajuan HAM. Kewajiban negara tersebut ditegaskan dalam konsideran “Menimbang” baik dalam Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam hukum nasional, Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama Pemerintah.
Dengan berkembangnya konsepsi HAM yang juga meliputi hubungan-hubungan horisontal mengakibatkan perluasan kategori pelanggaran HAM dan aktor pelanggarnya. Hak atas informasi dan hak partisipasi dalam pembangunan misalnya tidak hanya menjadi kewajiban negara, tetapi juga menjadi tanggungjawab korporasi-korporasi yang dalam aktivitasnya bersinggungan dengan kehidupan masyarakat. Keberadaan perusahaan-perusahaan mau tidak mau membawa dampak dalam kehidupan masyarakat yang sering kali mengakibatkan berkurangnya hak asasi manusia.
Persinggungan antara Korporasi dengan Hak Asasi Manusia paling tidak terkait dengan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat, hak atas ketersediaan dan aksesibilitas terhadap sumber daya alam dan hak-hak pekerja. Secara lebih luas struktur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen juga memiliki potensi dan peluang terjadinya tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil.
Maka pelanggaran HAM tidak hanya dapat dilakukan oleh negara. Dalam pola relasi kekuasaan horisontal peluang terjadinya pelanggaran HAM lebih luas dan aktor pelakunya juga meliputi aktor-aktor non negara, baik individu maupun korporasi. Karena itulah memang sudah saatnya kewajiban dan tanggungjawab perlindungan dan pemajuan HAM juga ada pada setiap individu dan korporasi. Hal ini juga telah dinyatakan dalam “Declaration on the Right and Responsibility of Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedom” pada tahun 1998.
Kewajiban dan tanggungjawab tersebut menjadi semakin penting mengingat masalah utama yang dihadapi umat manusia bukan lagi sekedar kejahatan kemanusiaan, genosida, ataupun kejahatan perang. Permasalahan yang dihadapi umat manusia saat ini lebih bersifat mengakar, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan, yang mau tidak mau harus diakui sebagai akibat eksploitasi atau paling tidak ketidakpedulian sisi dunia lain yang mengenyam kekayaan dan kemajuan. Kewajiban dan tanggungjawab korporasi dalam bentuk Corporate Social Responsibility terutama dalam Community Development, tidak seharusnya sekedar dimaknai sebagai upaya membangun citra. Kewajiban dan tanggungjawab tersebut lahir karena komitmen kemanusiaan. Kewajiban tersebut juga lahir karena kesadaran bahwa aktivitas korporasi, secara langsung maupun tidak, telah ikut menciptakan ketimpangan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Tanpa peran serta korporasi, upaya menciptakan dunia yang lebih baik, dunia yang bebas dari kelaparan dan keterbelakangan akan sulit dilakukan mengingat kekuasaan korporasi yang sering kali melebihi kemampuan suatu negara.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
__________, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Ferejohn, John, Jack N. Rakove, and Jonathan Riley (eds). Constitutional Culture and Democratic Rule. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.
Fukuyama, Francis. Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21. Judul Asli: State Building: Governance and World Order in the 21st Century. Penerjemah: A. Zaim Rofiqi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Giddens, Anthony. The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Judul Asli: The Constitution of Society: The Outline of the Theory of Structuration. Penerjemah: Adi Loka Sujono. Pasuruan; Penerbit Pedati, 2003.
Huntington, Samuel P. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century. Norman: University of Oklahoma Press, 1991.
Republik Indonesia, Himpunan Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 s/d 2002, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002.
Sabine, George H. A History of Political Theory. Third Edition. New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London: Holt, Rinehart and Winston, 1961.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.
0 comments:
Post a Comment
Untuk berkomentar.Silahkan tinggalkan pesan dibawah iniI.Untuk semua pengguna pilih " beri komentar sebagai : ANONIMOUS "